makalah konsep fiqh dan metodologi Imam Malik
MAKALAH
Konsep Fiqih Islam madzhab Malik bin Anas, ra :
Pandangan umum tentang konsep
metodologis kaidah dan usul fiqih madzhab Malik bin Anas
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu:
Dr. H. Reza Ahmad Zahid, Lc.,
M.A
Oleh:
Agung Yanuardi
NIM. 12512204002
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG NOVEMBER 2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah penulis
panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun dalam
pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam.
Dengan terselesianya makalah ini,
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Bapak Dr. H. Reza Ahmad
Zahid, Lc., M.A, selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam yang telah memotivasi dan memberikan pengarahan atas pengerjaan
makalah ini
2.
Orang tua penulis yang telah
memberikan dukungan, baik moril maupun materil
3.
Teman-teman kelas I-A Tadris
Matematika Pasca Sarjana IAIN Tulungagung yang telah memberikan motivasi
Dalam penyusunan makalah yang berjudul
“Mu’tazilah”, penulis sangat menyadari bahwa makalah ini perlu penyempurnaan
agar dapat memberikan manfaat yang bernilai bagi penulis dan bagi pembacanya.
Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Tulungagung,
November 2020
Penulis
Daftar Isi
Halaman Judul................................................................................................... i
A. Imam Malik bin Anas.................................................................................. 8
B. Guru dan Murid Imam Malik .................................................................... 9
C. Pemikiran dan
Karya-Karya Imam Malik................................................. 10
D.
Pandangan Umum Tentang Konsep
Metodologis Kaidah Imam Malik... 13
A.
Kesimpulan................................................................................................ 23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Imam Malik memiliki nama lengkap Malik bin
Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin
Amr bin Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan merupakan
imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari
suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara
Thalhah bin Ubaidillah.
Imam Malik
dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah
binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat
Nabi, tetapi seorang tabi'in yang
sangat minim sekali informasinya. Buku sejarah hanya mencatat, bahwa ayah Imam
Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, suatu tempat di padang pasir
sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah[1].
Kakek Malik, Abu Umar, datang ke Madinah dan bermukim di sana sesudah Nabi
wafat. Karenanya kakek Malik ini tidak termasuk golongan sahabat, tetapi masuk
golongan tabi’in[2].
Tentang tahun
kelahirannya, Adz-Dzahabi berkata, "Menurut pendapat yang lebih shahih
Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah, yaitu pada tahun
dimana Anas, pembantu Rasulullah, meninggal[3].
Para ahli tarikh berbeda pendapat, Yasin Dutton menyatakan kemungkinan pada 93
H/711 M[4].
Ibnu khalikan menyebut 95 H, ada pula yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada
pula yang menyatakan 97 H. Tetapi mayoritas ulama cenderung menyatakan beliau
lahir tahun 93 H pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan
meninggal tahun 179 H. Jadi Imam Malik 13 tahun lebih muda dari rekannya yang
termasyhur, Imam Abu Hanifah[5].
Mengenai
sifat-sifatnya Mathraf bin Abdillah berkata, "Malik bin Anas mempunyai
perawakan tinggi, ukuran kepalanya besar dan botak, rambut kepala dan
jenggotnya putih, sedang kulitnya sangat putih hingga kelihatan agak pirang.
Dari Isa bin Umar Al-Madani, dia berkata, "Aku tidak pernah melihat ada
orang yang mempunyai kulit putih dan mempunyai wajah yang kemerah-merahan,
sebagus yang dimiliki Malik, dan aku tidak melihat pakaian yang lebih putih
dari pakaian yang dikenakan Malik.Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata,
"Aku tidak melihat ada orang yang lebih mulia dari Malik, dan aku tidak
melihat ada orang yang lebih sempurna akal dan ketakwaannya dari Malik[6].
Imam Malik
menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad, Hammad
dan Yahya) dan seorang anak perempuan,Fatimah (yang mendapat julukan Umm al-Mu'minin). Menurut Abu Umar,
Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun mempelajari dan hafal
dengan baik Kitab al-Muwatta'.
Menurut
Munawar Khalil, Imam Malik sesudah berputra beberapa orang, yang dari antaranya
ada yang dinamakan Abdullah, maka beliau lalu terkenal dengan sebutan Abu
Abdillah. Kemudian setelah beliau menjadi seorang alim besar dan terkenal
dimana-dimana; juga setelah ijtihad beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui
dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka hasil ijtihad beliau dikenal
dengan sebutan mazhab Maliki[7].
Setelah
menjadi ulama besar, Imam Malik mempunyai dua tempat pengajian yaitu masjid dan
rumahnya sendiri. Beliau sering menyampaikan hadis dan masalah-masalah fiqh.
Dalam mengajar, Imam Malik sangat menjaga diri agar tidak salah dalam memberi
fatwa. Oleh karena itu, untuk masalah-masalah yang ditanyakan, sedang beliau
belum yakin betul akan kebenaran jawabannya, sering menjawab la adri (saya tidak tahu)[8].
Imam Malik
terdidik di kota Madinah, tempat berkumpulnya para sahabat, tabi'in, cerdik-pandai dan para ahli
hukum agama. Beliau terdidik di tengah-tengah mereka sebagai seorang anak yang
cerdas, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir, setia dan teliti.
Dari kecil
beliau membaca al-Qur'an dengan lancar dan mempelajari sunnah. Setelah dewasa
beliau belajar kepada para ulama dan fuqaha di kotaMadinah, menghimpun
pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka,
mengutip atsar-atsar mereka, dan
mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi orang yang paling
pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka sunnah serta pemimpin ahli
hukum agama di negeri Hijaz[9].
Perlu
diterangkan, bahwa Malik, datuk beliau adalah termasuk pembesar tabi'in dan ulama terkemuka. Semenjak
kecil beliau seorang fakir karena bukan berasal dari keturunan orang mampu.
Sekalipun dalam keadaan demikian, beliau tetap sebagai seorang pelajar yang
setia dalam menuntut ilmu pengetahuan. Karena itu, setelah beliau menjadi
seorang alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang diberikan kepadanya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Imam Malik bin Anas?
2.
Siapakah guru dan murid imam Malik bin Anas?
3.
Bagaimanakah pemikiran dan karya-karya Imam Malik?
4.
Bagaimanakah pandangan umum tentang konsep metodologis kaidah dan
usul fiqih Imam Malik?
C.
Tujuan
5.
Mengetahui Imam Malik bin Anas?
6.
Mengetahui guru dan murid
imam Malik bin Anas?
7.
Mengetahui pemikiran dan karya-karya Imam Malik?
8.
Mengetahui pandangan umum tentang konsep metodologis kaidah dan
usul fiqih Imam Malik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Imam Malik Bin Anas
Imam Malik memiliki nama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits
Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan merupakan imam Dar Al-Hijrah.
Imam Malik adalah Imam yang kedua dari Imam mazhab
sunni. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93
H/712 M, dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabi’ul Awal 179 H/798 M di Madinah pada
masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun AlRasyid. Nama lengkapnya
ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn Harits. Beliau
adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah, sebuah dusun di
kota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama Siti al ‘Aliyah binti Syuraik
ibn Abdurrahman ibn Syuraik alAzdidiyah[10].
Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan ibunya
selama 2 tahun ada pula yang mengatakan sampai 3 tahun.[11]
Imam
Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad,
Hammad dan Yahya) dan seorang anak perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm
al-Mu’minin). Menurut Abu Umar, Fatimah temasuk di antara anak-anaknya yang
dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwatta.
Imam
Malik dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang
material, tetapi keluarga tersebut taat dalam melaksanakan ajaran Islam dan
benar-benar mempelajari ilmu agama Islam, terutama hadits-hadits Nabi. Kakek
Imam Malik termasuk ulama tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits Nabi, yang
diperoleh dari Umar ibn Khaththab, Utsman bin Affan, Thalhah. Hadits-hadits itu
juga diriwayatkan oleh cucunya, yaitu Imam Malik yang diterimanya dari Nafi dan
Abu Sahal salah seorang guru Az-Zuhri[12].
Setelah
ditinggal orang yang menjamin kehidupannya, Imam Malik harus mampu membiayai
barang daganganya seharga 400 dinar yang merupakan warisan dari ayahnya, tetapi
karena perhatian beliau hanya tercurah kepada masalah-masalah keilmuan saja
sehingga beliau tidak memikirkan usaha dagangnya, akhirnya belaiu mengalami
kebangkrutan dan kehidupan bersama keluarganya pun semakin menderita.[13]
Selama menuntut ilmu Imam Malik dikenal sangat sabar,
tidak jarang beliau menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu Al-Qasyim pernah
mengatakan “Pendritaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa sampai-sampai
ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual di
pasar.[14]
Imam Malik terdidik dikota Madinah pada masa
pemerintahan Kholifah Sulaiman Ibn Abdul Malik dari Bani Umayyah, pada masa itu
masih terdapat beberapa golongan pendukung islam antara lain sahabat Anshar dan
Muhajirin. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah al-Qur’an yakni bagaiman
cara membacanya, memahami makna dan tafsirnya. Beliau juga haal al-Qur’an
diluar kepala. Salain itu beliau juga mempelajari hadts Nabi SAW, Sehingga
belaiau dapat julukan sebagai ahli Hadts.[15]
Imam
Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani
dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seorang yang
mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka menjenguk orang sakit, mengasihi
orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau
juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana yang perlu
dan berguna serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak
bermanfaat[16].
B.
Guru dan Murid Imam Malik Bin Anas
Kota
Madinah merupakan pusat perkembangan sunnah, dalam bidang ini Imam Malik
diantaranya ia berguru kepada Nafi Maula ibn Umar dan Ibn Syihab az Zuhri. Ilmu
fikih ia pelajari diantaranya dari Rabi’ah bin Abdurrahman yang terkenal dengan
Rabi’ah ar-Ra’yu, selain itu guru Imam Malik adalah Abu Az-Zinad, Hasyim bin
Urwah, Yahya bin Said al Anshari, Muhammad bin Munkadir, dll[17].
Saat
menuntuk ilmu Imam Malik mempunyai banyak guru. Dalam kitab “Tahdzibul Asma
wa Lughat” mengatakan bahwa Imam Malik pernah belajar kepada 900 syeikh,
300 diantaranya dari golongan tabi’in dan 600 lagi dari golongan tabi’it
tabi’in.[18]
Menurut
riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang
utama tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu,
terdapat 300 orang yang tergolong ulama tabi’in[19].
Adz-Dzahabi
berkata, “untuk pertama kalinya malik mencari ilmu pada yahun 120 Hijriyah,
yaitu tahun dimana Hasan Al-Basri meninggal. Malik mengambil hadts dari nafi’
yaituorang yang tidak bisa ditinggalkannya dalam periwayata.[20]
Dan diantara guru-gurunya yang terkenal diantaranya:
1.
Abu Radih Nafi Bin Abd Al-Rahaman Dalam bidang al-Qur’an, Imam
Malik belajar membaca dan mengghafal al-Qur’an sesuai dengan prinsip-prinsip
ilmu tajwid yang baku dari ulma yang terkenal, Abu Radih Nafi Bin Abd
Al-Rahaman yang sangat terkenal dalam bidang ini hingga masa sekarang.[21]
2.
Nafi’ Nafi’ merupakan seorang ulam hadts yang besar pada masa awal
kehidupan ima malik. Nafi’ mempelajari ini dari gurunya yang mashur ( Abdullah
ibn Umar) karena Nafi” pada mulanya adalah seorang budak yang dimerdekakannya
setelah 30 tahun melayaninya. Orang yang mengetahui kedudukan Abdullah ibn Umar
dalam khasanah hadts niscaya akan memahami betapa beruntungnya Nafi’ dapat
belajar dari tokoh yang sedemikian besar.[22]
3.
Rabiah bin Abdul Rahman (Rabiah al-Ray) Beliau berguru kepadanya
ketika masah kecil. Imam Malik banyak mendengarkan hadits-hadits nabi dari
belau. Selain itu beliau juga merupakan guru Imam Malik dalam bidang hukum
islam.[23]
4.
Muhammad bin yahya al-Anshari Belaiu merupakan guru Imam Malik
yang lain. Termasuk juga kedalam kelompok tabi’in dia biasa mengajar di masjid
Nabawi Madinah. Sedangkan guru-guru belaiau yang lain adalah ja’far ash-Shadiq,
Abu Hazim Salmah bin Nidar, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id dan lain-lain.
Imam
Malik mempunya banyak sekali murid yang terdiri dari para ulama’. Qodhi Ilyad
menyebutkan bahwa lebih dari 1000 orang ulam’ terkenal yang menjadi murid Imam
Malik, diantaranya: Muhammad bin Nuskim al-Auhri, Rabi’ah bin Abdurrahman,
Yahya bin zsaid al-Anshori, Muhammad bin Ajlal, Salim bin Abi Umayah, Muhammad
bin Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq dan
Sulaiman bin Mahram al-Amasi.
Murid-
murid Imam Malik yang terkenal dan mengumpulkan fatwa serta pendapat-pendapat
Imam Malik, antara lain adalah[24]:
1.
Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim, wafat tahun 197 H.
2.
Abdur Rahman bin Al Qashim, wafat tahun 191 H.
3.
Asyhab bin Abdul Aziz, wafat tahun 204 H.
4.
Asad bin Al Furat, wafat tahun 217 H.
5.
Abdullah bin Abdul Hakam, wafat tahun 214 H.
6.
Sahnun Abdissalam At Tanuki, wafat tahun 240 H.
7.
Abu Abdillah Ziyad bin Abdurrahman Al Kurtubi yang terkenal dengan
nama Syahtu (Syahtun), wafat tahun 193 H.
Jadi
murid- murid Imam Malik menamakan buku/kitab kumpulan fatwa dan pendapat beliau
dengan nama[25]:
a)
Al-Mudaawanah
b)
Al-Waadhinhah
c)
Al-Mustakhrajah dan Al-Udbiyah.
Ulama-ulama yang belajar kepada Imam Malik sangat
banyak sekali. Di antara mereka ada yang menjadi guru-guru dari golongan
tabi’in, seperti al-Zuhri, Ayyub al-Syakhfiyani, Abu al-Aswad, Rabi’ah ibn Abi
Abd alRahman, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, Musa ibn Uqbah dan Hisyam ibn Arwah.
Dari golongan tabi’ al-tabi’in antara lain seperti Nafi’ ibn Abi Nu’im,
Muhammad ibn Ajlan, Salim ibn Abi Umayyah dan Abu al-Nadri. Termasuk murid Imam
Malik juga adalah Imam Syafi’i. Selain itu ada juga Abdullah ibn Wahab, Abd
al-Rahman ibn Qasim, Asad ibn al-Furat, bahkan Muhammad Hasan al-Syaibani murid
Abu Hanifah juga sempat berguru kepada Imam Malik[26].
C.
Pemikiran dan Karya-karya Imam Malik Bin Anas
Imam
Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu
Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai ulama
terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqh. Sebagai bukti atas hal
itu, adalah ucapan al-Dahlawy, “Malik adalah orang yang paling ahli dalam
bidang hadits di Madinah, yang paling mengetahui keputusan Umar, yang paling
mengetahui tentang pendapatpendapat Abdullah ibn Umar, Aisyah R.A. dan
sahabat-sahabat lainnya. Atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan
kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa”[27].
Setelah mencapai tingkat tinggi
dalam bidang ilmu, beliau mulai mengajar dan menulis kitab al-Muwaththa’ yang
sangat populer, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi
pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Banyak dari Muhadditsin
besar yang mempelajari hadits dari beliau dan menjadi rujukan para ahi fiqh[28].
Imam
Malik selaku seorang Mufti yang dipercaya oleh ummat di masa itu sering
menghadapi kekejaman dan keganasan fisik yang berat dari penguasa, karena
beliau tetap mempertahankan pendapatnya tentang “paksaan talak itu tidak sah.”
Beliau tetap tidak mencabut fatwanya yang bertentangan dengan Khalifah
al-Manshur dari Bani Abbas di Bagdad, maka beliau disiksa dan dihukum penjara.
Imam Malik sangat teguh dalam membela kebenaran dan berani menyampaikan apa
yang diyakininya[29].
Dalam
menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat berhati-hati,
sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata, “Saya tidak pernah
memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadits, sehingga 70 ulama membenarkan
dan mengakui”[30].
Karya Imam Malik adalah :
1.
Al-Muwatta'.
Kitab ini merupakan hadis dan fikih sekaligus yang di dalamnya dihimpun
hadis-hadis dalam tema-tema fikih yang dibahas Imam Malik, seperti praktek atau
amalan penduduk Madinah, pendapat tabi'in yang ia temui, dan pendapat sahabat
serta tabi'in yang tidak sempat ditemuinya16. Karya lainya, adalah:
2.
Kitab 'Aqdiyah;
3.
Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil al'Qamar;
4.
Kitab Manasik;
5.
Kitab Tafsir li Garib al-Qur'an;
6.
Ahkam al-Qur'an;
7.
Al-Mudawanah al-Kubra;
8.
Tafsir al-Qur'an;
9.
Kitab Masa' Islam;
10. Risalah ibn Matruf
Gassan
11. Risalah ila al-Lais,
12. Risalah ila ibn Wahb.
Di
antara karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwaththa’. Kitab tersebut
ditulis tahun 144 H, atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary, atsar Rasulullah SAW,
sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwaththa’ sejumlah
1.720 buah. Pendapat Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua
buah kitab, yaitu al-Muwaththa’ dan al-Mudawanah al-Kubra[31].
Kitab
al-Muwaththa’ ini adalah kumpulan hadits-hadits dan ilmu hadits yang disusun
berdasarkan sistematika ilmu fikih dan di dalamnya diterangkan pokok-pokok
pikiran Imam Malik tentang ilmu fikih, dan pokokpokok pikiran tersebut disusun
dalam bentuk suatu fatwa. Dan pada bagian awal kitab ini diterangkan
pokok-pokok pegangan dalam mengistimbathkan hukum, sebab-sebab Al Qur’an dan
Sunnah Rasul dijadikan sumber hukum yang pertama, sebab-sebab beliau menerima hadits
mursal[32],
hadits qath’i dan hadits-hadits yang disampaikan kepadanya[33].
Kitab
al-Muwatha’ mengandung dua aspek yaitu aspek hadits dan aspek fiqih. Adanya
aspek hadts karena al Muwatha’ banyak mengandung hadts yang berasal Rasulullah
SAW atau dari sahabat atau tabi’in. Hadits itu diperoleh dari 95 orang yang
kesemuaannya dari penduduk Madinah, kecuali 6 orang diantaranya: Abu Al-zubair
(Makkah), Humaid al-Ta’wil dan Ayyub Al-Sahtiyang (basrah), Atha’ bin Abdullah
(khurasan), Abdul Karim (jazirah), Ibrahim ibn Abi Abiah (syam). Sedangkan yang
dimaksud aspek fiqih adalah kaena kitab al-Muwatha’ disusun berdasarkan
sistematika dengan bab-bab pembahasan layaknya kitab fiqih. Ada bab thaharah,
sholat, zakat, nikah, dan lain-lain[34]
Kitab
al-Mudawwanah al-Kubra merupakan kumpulan risalah yang memuat tidak kurang dari
1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad ibn al-Furat
al-Naisabury yang berasal dari Tunis. Asad ibn Furat tersebut pernah menjadi
murid Imam Malik dan pernah mendengar al-Muwaththa’ dari Imam Malik. Kemudian
ia pergi ke Irak. Al-Muwaththa’ ini ditulis Asad ibn al-Furat ketika ia berada
di Irak[35].
Ketika
di Irak, Asad ibn al-Furat bertemu dengan dua orang murid Abu Hanifah, yaitu
Abu Yusuf dan Muhammad. Ia banyak mendengar dari kedua murid Abu Hanifah
tersebut tentang masalah-masalah fiqh menurut aliran Irak. Kemudian ia pergi ke
Mesir dan di sana bertemu dengan murid Imam Malik terutama ibn al-Qasim.
Masalah-masalah fiqh yang ia peroleh dari murid-murid Abu Hanifah ketika berada
di Irak, ditanyakannya kepada murid-murid Imam Malik yang berada di Mesir
tersebut, terutama kepada ibn al-Qasim. Jawaban-jawaban ibn al-Qasim itulah
yang kemudian menjadi kitab al-Mudawwanah tersebut[36].
Ketika
Asad ibn al-Furat pergi ke Qairawan, Sahnun menuliskannya menjadi sebuah kitab.
Kitab tersebut diberi nama al-Asadiyah. Kemudian Sahnun pergi dengan
membawa kitab tersebut dan menyodorkannya kepada ibn al-Qasim pada tahun 188 H,
yang kemudian ibn al-Qasim melakukan beberapa masalah, lalu Sahnun kembali ke
Qairawan pada tahun 192 H. Sahnun menerima al-Mudawwanah dari Asad ibn Furat
itu pada mulanya dalam keadaan belum tersusun dengan baik dan belum diberi bab.
Sahnunlah yang menyusun dan memberikan bab-bab dalam kitab al-Mudawwanah
tersebut[37].
D.
Pandangan Umum Tentang
Konsep Metodologis Kaidah Imam Malik
Imam
Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana halnya Imam Abu
Hanifah. Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, ia tinggal dan berkembang
di Madinah. Karena faktor sosio kultural yang mempengaruhinya, ia sangat ketat
berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat Madinah (‘amal ahl
al-madinah). Akan tetapi, dalam berijtihad, Imam Malik sangat banyak
menggunakan hadis dibandingkan dengan Imam Hanafi[38].
Hal ini karena Madinah yang menjadi domisili Imam Malik adalah juga menjadi
domisili Rosululloh SAW, sehingga tidak mengherankan jika didalam Masyarakat
Madinah banyak beraedar hadis. Imam Malik sendiri memiliki kitab hadis yang
terkenal dengan nama al-Muwaththa’. Kitab ini monumental pada masanya karena
suatuketika ia pernah diminta oleh penguasa untuk menjadikan kitab al-Muwaththa’
sebagai acuan standar (uniform) di semua wilayah. Tetapi Malik menolak karena
ia menyadari bahwa setiap wilayah itu memiliki cara istimbatnya sendiri-sendiri[39].
Menurutnya
bahwa al-Quran adalah dalil tertinggi karena kedudukannya sebagai dasar dan hujjah
Syari’at. Terhadap al-Quran ini ia mengambil dari segi zahir an-nas,
baik dalam lafal yang bisa ditakwil maupun tidak, disamping itu, ia juga
mengambil dari segi keumuman dan kehususan lafal dalam beristimbat dengan al-Quran
ini ia menempuh dua metode, yaitu metode lugawi atau bayani
(linguistik) dan ta’lili (kausasi). Metode bahasanya, ia mengambil nas
dari bentuk-bentuk keumuman, kekhususan dan Zahir an-nass, melalui
penalaran mafhum, yaitu mafhum al-muwafaqah, mafhum al-mukhalafah, dan mafhum
al-aula. Sedangkan metode kausasi (ta’lili)-nya secara teknis
teoritis adalah metode qiyas dan istihsan.
Apabila
Imam Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dan istihsan dalam
berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan mashlahah
mursalah. Belakangan metode maslahah Imam Malik ini berkembangan
sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang bernama Najmuddin ath-Thufi
(657-716 H) dituduh sesat oleh sebagian ulama lainnya, karena dipandang telah
mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat liberal[40].
Dasar
Ijtihad atau Sistematika sumber Istinbāţh Imam Malik, pada dasarnya ia tidak
menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun
sistematika Imam Malik.
Adapun
metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat sumber
(al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) adalah Atsar Ahli Madinah, Mashlahah
al-Mursalah (istishlâh), Qaul Shahâbi (Fatwa sahabat), Khabar Ahad,
al-Istihsân, Sadd Al-Dzarâi, Istishâb, Syaru man Qablanâ (Syariat sebelum
Islam).
Adapun metode istidlal Imam Malik
dalam menetap hukum Islam adalah berpegang kepada :
Dalam fatwanya Imam Malik berpegang pada:
1.
Kitabullah;
2.
Sunnah;
3.
Ijma’;
4.
Qiyas
5.
Amal Ahli madinah
6.
Maslah Mursalah[41].
7.
Qaul shahabi(fatwa sahabat)
8.
Khabar ahad dan qiyas
9.
al-istihsan
10. Sadd al dzarai
11. Istishab
Adapun penjelasan masing-masing dasar
pokok-pokok pegangan yang digunakan sebagai pembinaan Madzhabnya adalah sebagai
berikut :
1.
Al Qur’an
Di dalam berhujjah dengan Al-Qur’an, Imam
Malik mengambil nash Al-Qur’an, mengambil dhahirnya, mengambil mafhumnya,
mengambil mafhum mukhalafahnya yang dinamakan dalil serta mafhum muwafaqohnya.
Imam Malik membedakan pengertian kandungan nas dengan
pengertian dalil nash. Nash menurut Maliki :
Maksudnya : "Apa yang tidak mungkin
menurut ta’wil".
Sedangkan dhohir menurut Malikiyah :
Maksudnya: " Yang mungkin menerima
ta’wil"[42].
Kemudian
kaitannya dengan penggunaan dari al Qur’an antara yang dikehendaki khusus atau
umum. Dari segi makna, menurut Malikiyah aam tidak ada qarinah masuk dalam
golongan dhahir. Tegasnya dalalahnya dhanniyah. Al-Qarafi mengatakan bahwa
mukhassis di sisi Malik ada 15 yaitu : aqal, ijma’, kitab dengan kitab, qiyas
jali dan khafi. Jika aam itu qur’an atau sunnah mutawatiroh. Sunnah mutawatiroh
dengan yang sepertinya, kitab dengan khobar ahad, adat, syarat, istisna, sifat,
qoyah, istifham dan his[43].
2.
Sunnah
Imam Malik
meski mengutamakan hadis mutawatir dan masyhur, juga menerima hadis ahad
asalkan tidak bertentangan
dengan amal (praktik) ahli Madinah. Beliau mengambil dari As-Sunnah atau al
Hadits Shahih. Dalam hal ini pegangannya adalah muhadits-muhadits besar dari
ulama Hijaz[44].
3.
Ijma’
Ijma‟
menjadi sumber ketiga ketika tidak ada dalam alQur‟an dan sunnah mutawatir.
Ijma‟ menurut Imam Malik adalah perkara-perkara yang disetujui oleh ulama fiqih
dan ahli ilmu pengetahuan. Ketika tidak ada semua yang pokok ini
maka menggunakan qiyas dan mengistimbatkan darinya. Namun perlu tanda kutip
bahwa ijma’ yang digunakan imam maliki disini adalah ijma’ para ulama madinah
Ijma’
ahl al-Madinah ini yaitu ijma’ ahl al-Madinah yang asal nya dari al-Naql,
hasil dari menconoh RosullallohSAW. Bukan dari hasil ijtihad ahl-al-Madinah,
seperti tentang Ukuran mud, sha’ dan penentuan suatu tempat, seperti
tempat mimbar Nabi SAW. Atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti
adzan di tempat tinngi dan lain-lain. Ijmma’ semacam ini dijadikan
hujjah oleh Imam Malik.
Menurut
Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ijma’ ahl-Madinah pada masa lampau
yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan
kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali berupakan hujjah. Ijma’
ahl al-Madinah yang asalnya dari an-Naqli, sudah merupakan kesepakatan
seluruh kaum Muslimin sebagi hujjah. Di kalangan Mazhab Maliki , ijma’ ahl
al-madinah lebih diutamakan dari pada hadis ahad, sebab ijma’ ahl
al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jamaah, sedangkan hadis ahadhanya
merupakan pemberitaan perorangan. Ijma’ ahl al-Madinah ini ada beberapa
tingakatan Yaitu :
a) Kesepakatan ahl al-Madinah
yang asalnya al-Naql.
b) Amalan
ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijma’ ahl
al-Madinah yang terjadi sebelum masa itu merupakan hujjah bagi mazhab
Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahua ada amalan ahl
al-Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan Sunnah Rosululloh SAW.
c) Amalan ahl al-Madinah itu
dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan.
Artinya, apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk
mentarjih salah satu dari kedua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahl
al-Madinah itulah yang dijadikan
hujjah menurut mazhab Maliki.
d) Amalan
ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW.
Amalan ahl al-Madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut Syafi’i,
Ahmad ibn Hambal, Abu Hanifah, amupun menurut para ulama di kalangan mazhab
Maliki.
4.
Qiyas
Menurut Imam Malik qiyas adalah menyamakan hukum masalah yang tidak ada hubungannya dalam teks al Qur’an dan sunnah dengan hukum masalah yang terdapat
hukumnya dalam salah satu atau kedua sumber tersebut disebabkan kesamaan
illatnya[45].
Imam Malik
mengqiyaskan hukum kepada hukum yang dinashkan dalam al Qur’an, kepada hukum
yang dikeluarkan dari as Sunnah. Bahkan Malik mengqiyaskan hukum kepada
fatwa-fatwa sahabat. Sebagian qiyas di sisi malik ada yang mencapai derajat
mengalahkan nash yang dhonni. Karena qiyas itu dikuatkan oleh kaidah-kaidah
yang umum, qiyas yang begini didahulukan atas khabar ahad.
Al Qarafi
menerangkan bahwa Malik yang menjadikan maslahat salah satu dari jalan kepada
jalbul maslahah dan daf ul madlarah. Karenya, qiyas tidak dipergunakan apabila
bertentangan dengan maslahah[46].
Qiyas menurut
istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada
nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua
itu dalam illat[47]
hukumnya[48].
Contohnya narkoba disamakan hukumnya dengan hukum meminum khamar, karena sama
illatnya yaitu dapat menghilangkan akal (memabukkan).
5.
Amal Ahli
Madinah
Dasar ini
merupakan ciri dari madzhab Malik karena berbeda dengan madzhab lain. Ibnu
Qoyyim membagi amal ahli madinah kepada
tiga bagian:
Artinya: " Yang pertama ialah sesuatu
yang dinukilkan sejak semula dari Nabi SAW. Yang kedua menukilkan suatu
perbuatan yang terus menerus dikerjakan, yang ketiga ialah menukilkan nama-
nama tempat, nama-nama benda dan ukuran ".
Al-Qorafi juga
memberikan komentar ; bahwa amal ahli Madinah yang dimaksud malik yang
didahulukan atas kabar ahad ialah amal yang berdasarkan hadits, bukan yang
berdasarkan ijtihad[49].
6.
Maslahah Mursalah
Secara etimologi, maṣlaḥah adalah perbuatan yang
mendorong pada
kemanfaatan manusia, merupakan lawan kata dari mafsadat. Maṣlaḥah dengan makna
yang umum adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat
kemanfaatan baik dengan cara menarik atau menghasilkan.30 Secara terminologi,
maṣlaḥah mursalah adalah suatu kemashlahatan dimana syari' tidak mensyariatkan
suatu hukum untuk merealisir kemashlahatan itu, dan tidak ada dalil yang
menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maṣlaḥah mursalah pada
prinsipnya adalah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan yang ketentuan
hukumnya tidak terdapat dalam naṣ, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Mashlahah Mursalah adalah mashlahah
yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak
disinggung oleh nash. Dengan demikian maka mashlahah mursalah itu kembali
kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan.
Kemaslahatan manusia (maṣlaḥah) dalam kehidupan ini pada dasarnya
sangat banyak dan beraneka ragam. Sebagian memang benar-benar untuk
kebaikan manusia, namun sebagian yang lain hanya sangkaan saja untuk kebaikan
manusia. Dalam hal ini maṣlaḥah terdiri dari tiga macam: maṣlaḥah
mu'tabarah (maṣlaḥah yang sesuai dengan syariat), maṣlaḥah mulghah (maṣlaḥah
yang bertentangan dengan syariat), dan maṣlaḥah mursalah (maṣlaḥah
yang tidak ditentukan dan tidak dilarang oleh syariat).33
Maṣlaḥah yang
dapat diterima adalah maṣlaḥah yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima
jaminan dasar, yaitu: keselamatan keyakinan agama; keselamatan jiwa;
keselamatan akal; keselamatan keluarga dan keturunan serta keselamatan harta
benda. Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar manusia
dapat hidup aman dan sejahtera.34 Para ulama yang berpegang kepada mashlahah
mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai
berikut:
a)
Mashlahah itu harus benar-benar merupakan
mashlahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara
sepintas saja.
b)
Mashlahah itu harus benar-benar merupakan
mashlahah yang bersifat umum, bukan sekadar mashlahah yang hanya berlaku untuk
orang-orang tertentu. Artinya mashlahah tersebut harus merupakan mashlahah bagi
kebanyakan orang.
c)
Mashlahah itu harus benar-benar merupakan
mashlahah yang bersifat umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau
ijma’[50].
HH Secara etimologi, maṣlaḥah adalah perbuatan yang mendorong pada
kemanfaatan manusia, merupakan lawan kata dari mafsadat. Maṣlaḥah dengan makna
yang umum adalah segala sesuatu yang di dalamnya terdapat
kemanfaatan baik dengan cara menarik atau menghasilkan.30 Secara
terminologi, maṣlaḥah mursalah adalah suatu kemashlahatan dimana syari' tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemashlahatan itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.31 Maṣlaḥah
mursalah pada prinsipnya adalah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam naṣ, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah.
7.
Fatwa Sahabat
Jika hukum
masalah tidak ditentukan dalam sumber-sumber tersebut di atas, maka merujuk
kepada pendapat sahabat dengan alasan. Madinah adalah tempat Rasulullah
berhijrah dari Mekkah dan disitu Rasulullah SAW berdomisili menyampaikan ajaran
agama. Kepada para sahabat yang tinggal di negeri tersebut bergaul lama dengan
Rasulullah dan banyak mengetahui latar belakang turunnya ayat, sehingga
praktek- praktek keagamaan para sahabat menurut Imam Malik tidak lain adalah
praktek-praktek yang diwarisi Rasulullah SAW[51].
Imam Malik memandang fatwa sahabi sebagai suatu dasar fiqh merupakan hujjah
sebagai cabang sunnah. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat
tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan
fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas[52].
8.
Khabar ahad
Imam
Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari
Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath,
kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy.
Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten.
Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar
ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah,
maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak
benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut
tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah[53].
Qiyas
menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah mempersamakan suatu kasus yang
tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena
persamaan kedua itu dalam illat[54]
hukumnya[55].
Contohnya narkoba disamakan hukumnya dengan hukum meminum khamar, karena sama
illatnya yaitu dapat menghilangkan akal (memabukkan).
9.
Al istihsan
Istihsan
adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih
kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika terdapat satu
masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi
dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah atau
membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus
dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.
Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan
sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan
hukum harus mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat[56].
Ibnu
al-‘Araby salah seorang di antara ulama Malikiyah memberi komentar, bahwa istihsan
menurut mazhab Maliki, bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil
ke dalil lain yang lebih kuat yang kandungannya berbeda dari dalil yang
ditinggalkan tersebut. Dalil yang kedua itu dapat berwujud ijma’atau ‘urf
atau mashlahah[57].
Contohnya
adalah bolehnya melihat aurat seseorang dalam pengobatan. Karena memelihara
jiwa adalah pokok, sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang
pokok[58].
10.
Saad al-dzarai
Imam
Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang
menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya[59].
11.
Istishhab
Istishhab
adalah tetapnya suatu ketentuan
hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan
hukum yang sudah ada di masa lampau. Misalnya: seorang yang telah yakin sudah
berwudhu dan dikuatkan lagi bahwa ia baru sajamenyelesaikan shalat subuh,
kemudian datang keraguan kepada orang tersebut tentang sudah batal atau belum
wudhunya, maka hukum yang dimiliki oleh orang tersebut adalah bahwa belum batal
wudhunya[60].
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Imam Malik adalah tokoh empat besar Imam
Mazhab yang dilahirkan di Madinah dan wafat di
Madinah. Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali ketika menunaikan ibadah haji. Selain memiliki kemampuan dalam
menghafal al-Qur’an dan Hadits, Imam Malik bin Anas
terkenal berani dalam menyampaikan fatwa atau pendapatnya. Dia hidup pada pemerintahan Umawiyah dan Abasiyah. Pada
periode tersebut terdapat tiga aliran Islam, yaitu
Khawarij, Syiah, dan Jumhur. Tiga kelompok ini berpegang teguh, merasa bangga kepada pendapat masing-masing, dan
berusaha mempertahankannya. Hal ini juga mendorong Imam
Malik untuk tetap sebagai ahlul hadits dalam berijtihad. Selain itu, Imam Malik bin Anas terkenal
sebagai ahli hadits dalam pengambilan hukum. Hal ini
menjadi ciri khusus pola pemikiran pengambilan hukum Imam Malik. Hal itu karena terkait dengan keadaan lingkungan
di Madinah yang merupakan tempat dimana Rasulullah
hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan sederhana. Walaupun Imam Malik disebut
sebagai ahlu Hadits namun dirinya juga tetap dipengaruhi penggunaan rasio dalam
berijtihad. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan dalil dari amalan ahli Madinah (praktik masyarakat
Madinah), fatwa sahabat, qiyas, al-maşlahah mursalah, Aż-żari’ah, al-‘urf (adat
istiadat) dalam pengambilan hukum Islam. Imam Malikpun juga seperti mazhab lain
dengan al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalamhukum Islam. Hal ini tentu
saja karena adanya pengaruh kompleksitas permasalahanpermasalahan tertentu yang
tidak bisa ditemukan secara tekstual dalam kedua sumber utama hukum Islam. Permasalahan-permasalahan
tersebut tentunya karena dipengaruhi perkembangan
dan perubahan-perubahan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat itu.
B. SARAN
Dengan terselesainya makalah ini, penulis menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan koreksi dan saran yang membangun agar kedepannya bisa
lebih baik lagi dan memberikan manfaat bagi pembaca khususnya bagi penulis
secara pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
M.
Alfatih Suryadilaga (ed). 2003. Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras
TM.
Hasbi Ash Shiddieqy1997. Pokok-Pokok
Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra
Syaikh
Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf,
Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman. 2006. "60 Biografi Ulama
Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar
Yasin
Dutton. 2003. The Origin of Islamic Law; the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal,
Terj. M. Maufur"Asal Mula Hukum Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik
Madinah", Yogyakarta: Islamika
Jamil
Ahmad. 2003. Seratus Muslim Terkemuka.
Jakarta: Pustaka Firdaus
Munawar
Khalil. 1997, Biografi Imam Mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) Jakarta: Bulan Bintan
A.
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media
Abdul
Mughits, M.Ag. 2008. Kritik Nalar
Fiqih Pesantren, Cet Ke-1. Jakarta; Kencana Prenada Media Group
Haswir dan Muhammad Nurwahid. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan
Pemikiran Ulama Fiqih, Pekanbaru : Alaf Riau
M. Bahri Ghazali dan Djumadris. 1992. Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya,
Zulkayandri.2008. Fikih Muqaran, Program Pascasarjana UIN
Suska Riau
Huzaemah Tahido Yanggo.1997. Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta
: Logos
Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. 2011. Ushul Fiqh, Cet 2, Jakarta:Amzah Sinar
Grafika Offset
Abdul
Mughits, M.Ag.2008. Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Cet Ke-1, Jakarta;
Kencana Prenada Media Group
Mushtafa
zaid. 1964. al-Maslahah fi at-Tasyri’ al-Islami wa Najm ad-Din ath-Thufi, Mesir;
Dar al-Fikr al-Arabi, Mishr
Munawar Kholil, Biografi
Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang
Prof. TM. Hasby Ash-Shiddiqiy, Pokok-Pokok
Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, Jilid I, Jakarta : Bulan
Bintang
Muhammad
Khuzori Bik. 1989. Tarikh Tasyri’ Al
Islamy, Terj. Drs. Moh. Zuhri, Jakarta: Dar al Ihya Indonesia
Abdul Wahab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina
Utama
Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
Abdul Wahab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina
Utama
Iskandar Usman. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindoPersada
Jamil
Ahmad. 2003. Seratus Muslim Terkemuka,
Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus
Abdur Rahman Asy-Syarqawi. 2009. Riwayat 9 Imam Fiqih, Bandung:
Pustaka Hidayah
Abdullah Musthofa al-Maraghi. 2000. Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang
Sejarah, Yokyakarta: LPPPSM
Masturi Irham, Lc, Asmu’i Taman, Lc. 2006. 60
Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka AlKautsar
Abdurrahman L. Doi. 1990. Inilah Syariat Islam, Jakarta:
Pustaka Panjimas
2
TM. Hasbi Ash
Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam
Mazhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h., 461
[3]
Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf,
Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf",
(Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), h., 260
[4]
Yasin Dutton, The Origin of Islamic Law;
the Qur'an, the Muwatta', and 'Amal, Terj. M. Maufur, "Asal Mula Hukum
Islam: al-Qur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah", (Yogyakarta: Islamika,
2003), h., 16
[5]
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka,
Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h., 104
[7]
Munawar
Khalil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali), (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h., 80
[8]
A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian Perkembangan, dan
Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h., 128
[9]
Abdul Mughits,
M.Ag., Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Cet Ke-1, Jakarta; Kencana Prenada
Media Group, 2008, hal 75.
[10]
Haswir dan Muhammad Nurwahid, Perbandingan Mazhab,
Realitas Pergulatan
Pemikiran Ulama Fiqih, (Pekanbaru : Alaf Riau, 2006), h. 84-85.
[12]
M. Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan
Madzhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1992), h. 59-60
[13]
Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqih, (Bandung:
Pustaka Hidayah,
2000), cet. I, h. 278
[14]
Abdullah Musthofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih
Sepanjang Sejarah, (Yokyakarta:
LPPPSM, 2000), cet. I, h. 79
[18] Jaih Mubarok L. Doi, inilah Syariah Islam, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), cet. I, h.
137
[20]
Masturi Irham, Lc, Asmu’i Taman, Lc, 60 Biografi
Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2006), Cet. I, h. 237
[32]
Hadits mursal yaitu hadits yang diangkatkan oleh
tabi’in kepada Rasul Saw dari
perkataan atau perbuatan atau taqrir beliau.
[38]
Dr. H. Abd.
Rahman Dahlan, M.A.,Ushul Fiqh, Cet 2, Jakarta:Amzah Sinar Grafika
Offset, 2011. Hal 25.
[39]
Abdul Mughits,
M.Ag., Kritik Nalar Fiqih Pesantren, Cet Ke-1, Jakarta; Kencana Prenada
Media Group, 2008, hal 75.
[40]
Mushtafa zaid, al-Maslahah
fi at-Tasyri’ al-Islami wa Najm ad-Din ath-Thufi, Mesir; Dar al-Fikr
al-Arabi, Mishr, 1964, hlm. 23 dst.
[41]
Munawar Kholil, Biografi Empat Serangkai
Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang), Cet. II, h., 133
[42]
Prof.
TM. Hasby Ash-Shiddiqiy, Pokok-Pokok
Pegangan Imam Madzhab dalam Membina Hukum Islam, Jilid I, (Jakarta : Bulan
Bintang, t.t)., h., 175-176
[44]
Muhammad Khuzori Bik, Tarikh Tasyri’ Al
Islamy, Terj. Drs. Moh. Zuhri, (Jakarta: Dar al Ihya Indonesia, 1989), h., 420
[47]
Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada suatu
ashl (pokok) yang menjadi dasar
daripada hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu
pada far’u
(cabangnya)
[54]
Illat adalah suatu sifat yang terdapat pada suatu
ashl (pokok) yang menjadi dasar
daripada hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu
pada far’u
(cabangnya)
Komentar
Posting Komentar